
Menyadari bahwa letak geografis Indonesia yang rawan bencana, Perlindungan Arsip Dari Bencana Alam merupakan hal yang sangat perlu dilakukan, lembaga-lembaga pemerintah,lembaga swasta, organisasi sosial, organisasi masyarakat dan masyarakat umum yang menyimpan arsip penting dan arsip vital, diharapkan selalu siaga menghadapi bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu, yang dapat memporak porandakan dan menusnahkan arsip-arsipnya.
Arsip-arsip yang rusak akibat bencana dapat diidentifikasi, yaitu arsip yang rusak akibat bencanatsunami, banjir, gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus dan kebakaran. Bencana banjir, gunung meletus,tanah longsor, yang peristiwanya dapat diprediksi atau diamati, sebenarnya memberikan kesempatan kepada pengelola arsip di lembaga-lembaga arsip di pusat maupun di daerah untuk melakukan tindakan preventif semaksimal mungkin agar arsip-arsip yang tersimpan di lembaga kearsipan tersebut dapat diselamatkan. Hal ini berbeda dengan bencana kebakaran yang sering terjadi secara tiba-tiba, sehingga arsip-arsip secara fisik hancur dan informasinya sulit dilacak.
Perlindungan Arsip Dari Bencana Alam
Arsip yang rusak akibat tsunami, banjir, gempa bumi, tanah longsor,gunung meletus masih bisa direstorasi. Walaupun telah ada Undang-undang dan peraturan tentang pelindungan dan penyelamatan arsip,namun selalu saja pengelola arsip di lembaga-lembaga pemerintah, lembaga swasta, organisasi sosial,organisasi masyarakat dan masyarakat umum kebingungan dalam melakukan pelindungan dan penyelamatan arsipnya.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab pelaksanaan dari Undang-undang tentang Kearsipan dan Peraturan yang dibuat oleh Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)tersebut di atas, tidak sesuai dengan harapan. Undang-undang dan peraturan-peraturan tentang kearsipan, khususnya untuk pelindungan dan penyelamatan arsip,yang telah dibuat pemerintah dan ANRI, belum sepenuhnya dipahami dan dilaksanakan oleh pengelola arsip.
Dalam Perlindungan Arsip Dari Bencana Alam, lembaga kearsipan, baik di tingkat pusat maupun daerah serta lembaga-lembaga / instansi lain belum sepenuhnya melakukan apa di diharapkan, seperti yang sudah dituangkan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tentang kearsipan.Ketidak sesuaian antara undang-undang dan peraturan pemerintah tentang kearsipan tersebut terlihat dari tahapan prabencana, yaitu :
1.Sosialisasi undang-undang dan peraturan tentang pengelolaan, pemeliharaan, pelindungan danpenyelamatan arsip, belum dilakukan secara maksimal kepada pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam penanganan dan penyelamatan arsip dari bencana. Akibatnya adalah ketika terjadi bencana pengelola arsip tidak secara cepat dan tanggap menghadapi situasi bencana yang mengancam arsip.Mereka kebingungan ketika harus menyelamatkan arsip yang hancur dan rusak.
2.Belum ada pelatihan teknis yang kontinyu untuk pegawai-pegawai di lembaga-lembaga arsip di pusat dan daerah serta di instansi, sehingga penanganan dan penyelamatan arsip dari bencana tidak terarah dan sistematis.Ketiadaan SDM yang mumpuni dalam penanganan dan penyelamatan arsip dari bencana mengakibatkan penanganan dan penyelamatan arsip sangat lambat dan arsip banyak yang rusah bahkanmusnah.
3.Lembaga-lembaga kearsipan di tingkat pusat maupun daerah belum melakukan antisipasi atau tindakan preventif terhadap bencana.Walaupun mereka sudah mengetahui lokasi lembaga kearsipan berada didaerah rawan bencana, tetapi mereka tidak mempersiapkan peralatan penyimpanan arsip yang dapat Melindungan Arsip Dari Bencana Alam. Dengan demikian ketika terjadi bencana banjir, longsor, gempabumi, tsunami, kebakaran dan lain sebagainya, banyak arsip vital dan arsip penting yang rusak dan tidak dapat diselamatkan.
4.Perencanaan dalam penanganan dan penyelamatan arsip dari bencana,belum dilakukan secara maksimaloleh lembaga-lembaga kearsipan di tingkatpusat maupun daerah, sehingga ketika terjadi bencana tidak ada koordinasi yang sistematis dalam penanganan dan penyelamatan arsip.
5.Pembentukan tim penanganan dan penyelamatan arsip dari bencana sangat lambat, sehingga ketika terjadi bencana,banyak arsipyang rusak dan tidak dapat ditangani.
6.Sistim informasi dan komunikasi terpadudiantara pimpinan instansi, para staf di instansi, apparat keamanan, pihak-pihak yang terkait dengan bencana seperti Badan Penanggulangan Bencana setempat, Dinas Pemadam Kebakaran, Palang Merah Indonesia, serta masyarakat belum berjalan.Hal ini mengakibatkan penanganan arsip yang terkena bencana berjalan lambat.
7.Kerjasama dengan instansi-instansi lain yang lokasinya jauh dari lokasi bencana,yang akan dijadikan tempat penitipan sementara untuk mengamankan arsip dari bencana, belum menjadi prioritas. Dengan demikian banyak arsip vital milik lembaga dan instansi yang tidak dapat diselamatkan.
Pada tahap tanggap darurat pengelola arsip di lembaga-lembaga kearsipan terutama didaerah belum sepenuhnya melakukan analisa teoritis tentang penyebab dan akibat dari bencana dan mulai merencanakan tindangan pelindungan dan penyelamatan arsip dalam waktu yang singkat, sehingga sering terjadi tindakanpengamanan dan penyelamatan arsip secara mendadak ketika bencana melanda.
Hal ini tentu saja sangat berisiko dalam upaya Perlindungan Arsip Dari Bencana Alam, karena tanpa perencanaan.Koordinasi dengan instansi-instansi lain seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan lembaga kearsipan di daerah lain sering dilakukan terlambat, sehingga kerusakan fisik arsip dan informasi yang terkandung di dalamnya tidak dapat dicegah.
Penanganan arsip pasca bencana yang meliputi rehabilitasi dan rekontruksi arsip belum dilaksanakan secara maksimal.Pemulihan fungsi prasarana kearsipan, rehabilitasi infrastruktur kearsipan, rekonstruksi prasarana kearsipan, peningkatan kapasitas sistem kearsipan, perbaikan lingkungan kerja, penataan ruang pengelolaan arsip, peningkatan peran serta masyarakat dalam pemeliharaan dan perlindungan arsip, dan koordinasi kerja dengan instansi terkait juga belum dilaksanakan secara maksimal.
Pada tahap penanganan arsip pascabencana Lembaga pemerintah maupun swasta prosesnya lambat sehingga pemulihan fungsi kelembagaan dan pelayanan kepada masyarakat juga berjalan lambat.Inti persoalan dari bencana rutin, seperti banjir, longsor, letusan gunung berapiadalah pada beberapahal yang terkait dengan pemeliharaan lingkungan yang kurang baik.
Penerapan Standart Operating Procedure (SOP) pelindungan dan penyelamatan arsip yang belum maksimal, koordinasi yang tidak berjalan, SDM yang terbatas, dana yang terbatas, pemikiran jangka pendek dan tidak sistematis.Untuk bencana alam tsunami di beberapa daerah di Indonesia, merupakan bencana alam yang tidak dapat diantisipasi. Khusus bencana tsunami di Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, merupakan bencana nasional yang sangat hebat.
Tidak hanya korban jiwa, harta benda, sarana-prasarana yang sangat besar jumlahnya, tetapi juga kerugian lain yaitu hilang dan rusaknya ribuan arsip vital.Undang-undang dan peraturan tentang kearsipan yang telah disusun oleh pemerintah dan Kepala ANRI, bila diterapkan pada kasus tsunami kemungkinannya arsip-arsip yang musnah dan rusak tidak separah yang terjadi.
ANRI telah melakukan upaya yang sangat luar biasa untuk menyelamatkan dan merehabilitasi arsip vital dalam jumlah yang banyak. Walaupun demikian ANRI memiliki keterbatasan SDM, dalam jumlah dan kualitas.
Bila saja pasal 71,72,73,74,75,76 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan,yang mengatur peran serta masyarakat diterapkan, maka ANRI memiliki mitra untuk bekerja sama dalam penanggulangan bencana kearsipan. Diperlukan upaya yang terus-menerus untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat, yang mendorong mereka berperan aktif dalam kegiatan kearsipan, terutama pada pelindungan dan penyelamatan arsip. Untuk saat ini peran serta masyarakat di bidang kearsipan dapat disinkronkan dengan GNSTA, untuk antisipasi bila terjadi lagi bencana serupa.Kemauan, tanggung jawab dan kerjasama semua pihak sangat diharapkan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pelindungan dan penyelamatan arsip dari bencana